GENERASI, SURABAYA – Pola komunikasi orang tua dalam mendidik remaja dapat berbeda-beda. Namun, masih banyak orang tua yang bersikap protektif terhadap remaja. Pola komunikasi yang protektif dapat membuat remaja merasa tertekan. Akibatnya, banyak remaja yang mengalami depresi dan melukai diri.
Dalam studi berjudul “Intensi Melukai Diri Remaja Ditinjau Berdasarkan Pola Komunikasi Orang Tua” yang dikerjakan oleh Ridha Afrianti dari Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang (2020) mengambil sampel aksidental dari 103 remaja.
“Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan pola komunikasi orang tua memiliki pengaruh signifikan terhadap intensi melukai diri pada remaja,” tulis peneliti di halaman 37.
Selain itu, Ridha mencatat bahwa seorang guru di salah satu SMP di Surabaya melaporkan kepada pihak kepolisian bahwa 56 siswa memiliki sayatan yang serupa di pergelangan tangan. Setelah diselidiki, diketahui bahwa puluhan siswa tersebut mengalami depresi. Kejadian serupa juga ditemukan pada 55 siswa di salah satu SMP di Pekanbaru.
“Para siswa diduga melakukan tindakan menyayat tangan sebagai bentuk pelampiasan terhadap masalah yang mereka hadapi, termasuk masalah di lingkungan keluarga,” tulis peneliti di halaman 38.
Menurut Wedig dan Nock (2007), terdapat hubungan signifikan antara kritik yang kurang membangun dan keterlibatan emosional yang berlebihan dari orang tua terhadap perilaku remaja dalam melukai diri.
“Peran keluarga memang sangat penting dalam perkembangan anak. Hubungan yang tidak sehat antara orang tua dan anak, menjadi salah satu faktor penyebab kegagalan remaja,” tulis peneliti di halaman 40.
Dampak kritik dan emosional yang berlebihan dari ortu tersebut, juga dirasakan oleh Icha (18). Mahasiswi Fakultas Psikologi yang namanya disamarkan itu bercerita bahwa setiap merasakan stress dan merasa bersalah (feeling guilty), ia kerap memukuli kepalanya atau membenturkan kepala sendiri ke dinding.
“Meski orang tua mengetahui hal itu, saya merasa tidak ada percakapan atau tindakan preventif tertentu yang biasa dilakukan untuk pelaku cutting,” katanya, pada Minggu (31/3/2024).
Icha merasa kedua orang tuanya terlalu menggampangkan perasaannya, mereka sekadar fokus mengingatkan ketimbang menanyakan apa yang ia rasakan. Seringkali, percakapan antara dia dan orang tuanya berakhir dengan pertengkaran.
“Apalagi, saya berprinsip ingin didengarkan bukan dihakimi, sementara orang tua fokus memberikan judgement terlebih dahulu ketika menasihati,” tutur mahasiswi angkatan 2023 tersebut.
Menurut Dosen Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya, Yohana Wuri Satwika menjelaskan bahwa pola komunikasi protektif dan pola komunikasi laissez-faire cenderung menyebabkan remaja melukai diri.
“Pada tipe protektif, orang tua jarang meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan anak. Hal ini, memungkinkan remaja akan memiliki intensi melukai diri yang tinggi, karena orang tua sangat menekankan pada kepatuhan perkataan dan komunikasi yang tertutup (sehingga anak tidak memiliki hak bicara atau didengarkan, Red),” katanya, pada Minggu (31/3/2024).
Sedangkan, tipe laissez-faire menggambarkan orang tua dan anak sangat minim berinteraksi. Orang tua hanya memiliki sedikit minat dalam kehidupan anak. Menurut Lieberman (2004), remaja yang melukai diri cenderung mengalami pengabaian dan penolakan dari orang tua ketika masa kecil dan tidak mendapatkan perhatian penuh dari orang tua yang mengalami perceraian.
“Banyak di antara orang tua dengan pola komunikasi bermasalah (protektif dan laissez-faire, Red) justru tidak menyadari bahwa pola komunikasi mereka membuat remaja merasa tidak dihargai dan rendah diri, itulah yang membuat remaja menjadi cenderung melukai dirinya,” tutur Yohana.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, Yohana mengutip riset Koerner dan Fitzpatrick (2002) yang menjelaskan adanya pola komunikasi yang bisa dibangun untuk mencegah perilaku melukai diri pada remaja. Yaitu pola komunikasi konsensual.
Pola komunikasi konsensual mendorong anak terbuka kepada orang tua dan memiliki kemampuan untuk mengontrol diri dengan baik, mampu menghindari konflik, serta memiliki relasi yang baik dengan lingkungan sekitarnya.
“Pola komunikasi lainnya yang bisa dipertimbangkan oleh orang tua, yaitu pola komunikasi pluralistik. Melatih anak untuk berpikir bebas dan mampu menjaga relasi, didorong untuk berkomunikasi, dan bertukar ide untuk menikmati berbagai macam nilai. Sehingga, dapat membentuk remaja terbuka dan menciptakan hubungan harmonis,” tulis Koerner dan Fitzpatrick.
Untuk mengatasi perilaku melukai diri, ia mencoba melakukan self-talk supaya merasa lebih tenang. Hal itu, ia lakukan ketika muncul dorongan untuk melukai diri selama mengalami stress.
“Bila tidak memungkinkan untuk self-talk secara verbal, biasanya langsung membuka notes untuk menumpahkan semuanya. Intinya, mengeluarkan stress terlebih dahulu ke medium lain,” pungkas Icha. (*)
Penulis: Rangga Prasetya Aji Widodo