GENERASI, SURABAYA – Kekerasan terhadap anak akan menimbulkan trauma sepanjang hidupnya. Maka penting sekali menghindari kekerasan terhadap anak. Jurnal ilmiah berjudul “Dampak Kekerasan Pada Anak” yang ditulis oleh Nyoman Wiraadi dan Komang Suwarni Asih dari Univeritas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar tahun 2022, menunjukkan secara emosional, anak akan mengalami rasa takut, tidak aman, gelisah, dendam, serta penurunan semangat belajar dan konsentrasi.
Di sisi lain, anak juga akan berpotensi menjadi hiperaktif, sulit tidur, bahkan dapat menyebabkan anak menjadi tantrum.
Adapun dampak buruk lain dari kekerasan pada anak yang dikemukakan menyebabkan gangguan kejiwaan seperti depresi, kecemasan berlebihan, atau gangguan disosiatif, serta meningkatkan risiko bunuh diri. Anak cenderung menunjukkan perilaku negatif, agresif, frustrasi, pasif, apatis, sulit menghargai diri sendiri, dan mengalami kesulitan menjalin relasi dengan orang lain. Perasaan tidak berdaya ini dapat menyebabkan anak mengembangkan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), yaitu gangguan stres pasca trauma.
Tentu saja hal tersebut tidak bagus bagi tumbuh kembang anak. Di tengah upaya Indonesia mempersiapkan generasi menyambut Indonesia Emas 2045, perhatian terhadap anak sangat perlu dipahami. Upaya perlindungan anak melalui regulasi telah dituangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Aturan di situ tegas menjelaskan setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara adil, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta bebas dari kekerasan serta diskriminasi. Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), menunjukkan bahwa pada rentang Januari hingga November 2023 terdapat 15.120 kasus kekerasan terhadap anak, dengan 12.158 korban anak perempuan dan 4.691 korban anak laki-laki.
Dari data itu, kasus kekerasan seksual menempati urutan pertama dari jumlah korban terbanyak sejak tahun 2019 sampai tahun 2023. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan karena anak-anak adalah generasi penerus bangsa yang harus dijaga dan dilindungi.
Iftita Via (29), seorang ibu rumah tangga dari Kota Malang mengatakan upaya yang ia lakukan untuk mencegah kekerasan dengan cara menanamkan nilai-nilai positif melalui cara-cara yang konstruktif. Hal itu ia lakukan agar anak dapat memahami dan mengelola situasi yang mungkin akan dihadapi di luar lingkungan rumah.
“Cara saya mengedukasi anak saya adalah dengan memberikan contoh bagaimana bila terjadi adu argumen dengan temannya, apa saja yang harus dilakukan, dan membantu anak saya memilah hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan,” ujarnya pada Rabu (18/9/2024).
Selain itu, Via juga selalu berusaha membangun komunikasi yang baik secara terbuka dengan anaknya, dengan harapan dapat mendorong anak untuk bercerita secara jujur, termasuk jika mengalami kekerasan. Sehingga ia bisa memberikan nasihat dan tindakan yang tepat jika ada hal yang terjadi dengan anaknya.
Adapun pendapat lain dari Via mengenai pemberian pendidikan pengasuhan dan pengelolaan emosi anak kepada orang tua, yang menurutnya sangat penting untuk dilakukan. Dengan hal itu akan membantu para orang tua untuk selalu bersikap baik di depan anak-anaknya, sehingga dapat dijadikan contoh utama untuk anak-anak.
“Jadi saya sebagai orang tua harus menanamkan kesabaran, bagaimana bisa mengontrol emosi, menyelesaikan masalah dan berperilaku baik,” tuturnya.
Psikolog dari Lembaga Psikologi Darul Ulum (Lapsidu), Dian Zuhdiyati menjelaskan lebih lanjut mengenai anak-anak yang mengalami kekerasan, baik secara emosional, perilaku, maupun perkembangan mentalnya, dapat menghadapi dampak psikologis jangka panjang yang negatif. Namun, dampak spesifik pada setiap anak bervariasi tergantung pada kondisi dan situasi sebelum kejadian, dukungan lingkungan, serta intervensi yang diterima.
“Dampak tersebut dapat berupa masalah dalam manajemen emosi, trauma dan gangguan psikologis, perubahan perilaku seperti menarik diri atau menjadi lebih berulah, serta potensi perkembangan mental yang kurang optimal,” jelasnya.
Lingkungan juga memiliki pengaruh terhadap kerentanan anak-anak terhadap tindak kekerasan. Anak yang terbiasa dengan kekerasan dalam keluarga cenderung lebih rentan mengalami kekerasan lagi di luar rumah. Sebaliknya, anak yang dibesarkan dalam lingkungan positif juga dapat menjadi korban kekerasan di luar keluarga.
Sementara itu, peran lembaga seperti KPAI dan P2TP2A dalam menangani kasus kekerasan anak di Indonesia masih perlu ditingkatkan. Terkadang lembaga tersebut kesulitan dalam prosedur dan SOP penanganan, sehingga tidak memberikan kejelasan terkait pendampingan, keamanan, dan keadilan bagi anak korban. Namun di sisi lain, lembaga-lembaga tersebut juga memiliki kapabilitas yang dapat membantu proses pemulihan dan perlindungan anak.
Tidak hanya itu, Dian juga menjelaskan perihal pentingnya pendidikan pengasuhan dan pengelolaan emosi anak bagi orang tua. Diperlukan koordinasi dan edukasi yang seimbang, di mana orang tua memahami peran penting anak, mendengarkan perasaan anak, serta mengarahkan dengan tepat.
“Kontribusi orang tua dalam mendukung tumbuh kembang anak adalah dengan menjadi role model positif, menciptakan lingkungan aman dan nyaman, serta menjalin komunikasi baik,” tuturnya.
Dian berpesan mengenai upaya pencegahan dan penanganan kekerasan pada anak membutuhkan peran dari berbagai pihak, seperti orang tua, sekolah, masyarakat, hingga pemerintah. Orang tua perlu memberdayakan diri dengan memahami anak, memberikan perlindungan yang sesuai. Lembaga terkait dapat memberikan edukasi pengasuhan yang tepat, dengan mempertimbangkan situasi spesifik anak.
“Koordinasi dan manajemen emosi yang baik dari seluruh pihak yang terlibat juga diperlukan, dengan tetap menempatkan kepentingan terbaik bagi anak sebagai prioritas utama,” pungkasnya. (*)
Penulis: Rangga Prasetya Aji Widodo
Referensi:
Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2020). Profil Anak Indonesia. Jakarta: Kemen PPPA.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. (2024).
Wirawan, A., Sunartini, S., Suryawan, B., & Soetjiningsih, S. (2016). Tumbuh Kembang Anak Hipotiroid Kongenital yang Diterapi dini dengan Levo-tiroksin dan Dosis Awal Tinggi. Sari Pediatri, 15(2), 69–74.