GENERASI, MALANG – Datang ke kedai kopi tidak sekadar untuk menghabiskan waktu bersama teman-teman, tapi juga bagian dari proses kontruksi gaya hidup. Tanpa disadari, keseringan ke kedai kopi akan membentuk gaya hidup. Jenis kedai kopi yang didatangi akan membentuk gaya hidup pengunjungnya secara perlahan.
Pernahkan kalian merasakan sesuatu yang cukup membanggakan ketika bisa minum kopi di kafe yang cukup populer di kalangan masyarakat kelas ekonomi atas? Ya, dalam sebuah hasil penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Brawijaya, jenis kedai kopi dapat merepresentasikan gaya hidup pelanggan.
Dalam sebuah tesis berjudul “Konstruksi Gaya Hidup pada Kedai Kopi di Kota Malang” yang ditulis Baiq Nana Marlina untuk menyelesaikan program magisternya di Ilmu Komunikasi, Universitas Brawijaya, menemukan bahwa ada satu kedai yang menjadi referensi terjadinya proses kontruksi gaya hidup di Kota Malang.
Kedai kopi itu adalah Starbucks. Selain Starbucks, Nana juga meneliti kedai lain yakni Amstirdam dan Tjap Giling sebagai perbandingan.
Nana menemukan, proses konstruksi gaya hidup pada sebagian besar kedai kopi di Kota Malang terjadi melalui hegemoni Starbucks yang melahirkan terbentuknya standardisasi global. Standar itu seperti pada aspek penyajian dan menu yang disediakan. Selain itu juga ada desain interior kedai, layanan WiFi, toilet, AC, dan penggunaan furnitur yang ramah lingkungan.
“Dapat dimengerti apabila pertimbangan bisnis harus menyesuaikan keinginan pasar. Pasar kopi telah distandardisasi oleh Starbucks sebagai agen. Oleh karena itu, sering kali perkembangan kedai kopi lokal mau tidak mau harus searah dengan perkembangan Starbucks,” tulis Nana pada tesisnya di halaman 87 dan 88.
Merunut pada penjelasan Bordieu, Nana menulis Starbucks telah melakukan kekerasan simbolik. Kekerasan yang dimaksud bukanlah kekerasan fisik, melainkan sebuah definisi untuk menjelaskan sebuah dominasi yang tak terlihat dari Starbucks untuk mempertahankan keberadaannya di lingkup sosial.
Kekerasan Simbolik yang dijelaskan antara lain hegemoni budaya (cultural hegemony), dominasi ekonomi (economic domination), simbol kekuatan (symbol power), dan standar rasa (standarization of teste). Kafe Amstirdam dinilai mengikuti gaya Starbucks dalam menjalankan bisnis kafe. Nana menyebutnya dengan istilah ‘kepatuhan’.
Berbeda halnya dengan Kafe Tjap Giling. Berdasarkan pengamatannya di lapangan, Tjap Giling dianggap cukup resistansi dan masih mengadopsi nilai-nilai lokal atau local wisdom. Perbedaan karakteristik itu memunculkan perbedaan kelas sosial dan budaya.
“Pandangan Bourdieu menyebutkan, konstruksi budaya dapat dilihat melalui konsumsi kultural. Dapat diartikan bahwa kegiatan konsumsi kultural secara tidak langsung menempatkan individu pada posisi kelas tertentu atau dimaksudkan untuk klaim kelas sosial tertentu,” urainya.
Nana menyimpulkan, pelanggan di Starbucks adalah kelompok kelas sosial tinggi. Sedangkan kelas sosial pada Amstirdam dan Tjap Giling didominasi oleh kelas sosial menengah.
Karakerisik pelanggan Starbucks kebanyakan adalah Neutral Coffee Drinker. Itu adalah istilah untuk menjelaskan pelanggan yang memang tidak memiliki kebiasaan mengkonsumsi kopi setiap hati. Pelanggan yang tidak memperhatikan sama sekali proses dan metode penyajian kopi.
“Sering kali pelanggan memilih minum kopi yang diolah dari mesin espresso, tidak memedulikan aspek rasa dan proses penyajian,” kata peneliti asal Lombok tersebut.
Sedangkan pelanggan di Amstirdam adalah pelanggan Non-Spesific Coffee Drinker. Istilah itu untuk menjelaskan pelanggan yang tidak memiliki karakteristk dan kebiasaan tertentu ketika mengkonsumi kopi. Kemungkinan besar pelanggan di kelas ini hanya minum kopi sebagai respon reaksioner tanpa ekspektasi tertentu terhadap kopi atau proses penyajiannya.
Pelanggan pada Tjap Giling adalah pelanggan Ad-Hoc Coffee Drinker. Istilah ini digunakan untuk menjelaskan pelanggan yang mengkonsumsi kopi setiap hari. Mereka sangat memperhatikan aspek proses dan metode penyajian kopi, kebanyakan pelanggan dari kelas ini adalah anak-anak muda.
“Mereka memperlakukan kopi sebagai gaya hidup. Seringkali konsumsi kopi dilakukan di luar rumah seperti kedai kopi namun dengan frekuensi yang tidak terlalu sering,” ungkapnya.
Ahmad Husein adalah salah satu anak muda yang sering datang ke kedai kopi Tjap Giling. Dia bisa menghabiskan uang hingga Rp 1 juta per bulan untuk datang ke kedai kopi. Kedai kopi Tjap Giling dianggapnya menjadi tempat yang nyaman untuk belajar sekaligus bekerja.
“Hampir setiap hari ke kedai kopi, tempat favorit saya di Tjap Giling. Di sini, saya biasanya mengerjakan tugas dan menyelesaikan pekerjaan,” ujarnya.
Sebagai anak muda yang suka minum kopi, menurutnya gaya hidup pelanggan yang datang ke Tjap Giling tergolong sederhana. Ia pun merasa terbawa arus untuk mengikuti bagaimana gaya hidup pelanggan yang datang.
“Saya kira enak aja hidup sederhana, tidak harus mempertimbangkan jauh-jauh soal nilai berpakaian,” katanya.
Husein juga menyadari, bahwa penghasilannya tidak harus dipaksakan untuk hidup mewah. Bisa menikmati kopi dan mendapatkan suasanya yang nyaman sudah bisa membuatnya puas. Apalagi pekerjaannya sebagai seorang penulis membutuhkan tempat yang cenderung sepi.
“Saya memilih di sini karena sepi dan suasananya klasik. Banyak ornamen klasiknya, suasananya enak seperti di rumah sendiri,” katanya.
Fijay, anak muda lainnya yang sering datang ke Starbuck mengatakan ia sering ke kedai tersebut karena harus menyesuaikan diri dengan klien yang ia layani. Kata Fijay, kliennya merasa nyaman di Starbuck. Ia pun harus menyesuaikan diri dengan kondisi konsumen di sana.
“Saya pilih tempat itu karena tuntutan kerja. Klien saya mintanya di sana. Suasananya enak buat kerja di sana,” katanya.
Cara berpakaian pun harus menyesuaikan. Fijay harus tampil lebih rapi dari biasanya jika datang ke Starbuck. Tak melulu rapi, kadang ia juga harus menunjukan barang-barang bernilai mahal yang ia bawa. Selain untuk gaya hidup, cara itu untuk meyakinkan kliennya.
“Saya habiskan uang sekitar Rp 500 ribu dalam seminggu. Saya bisa sampai empat kali ke Starbuck,” ujarnya.
Bagi Fijay, Starbuck telah mendorongnya untuk tampil lebih meyakinkan di hadapan klien-klien yang ia temui. Penggunaan barang-barang bernilai menjadi salah satu cara yang ia lakukan saat ini. Meskipun ia mengaku tidak terlalu tahu tentang kopi. (*)
Penulis: Baiq Nana Marlina