GENERASI, SURABAYA – Praktik politik uang sangat rawan terjadi di Pilkada 2024. Politik uang ini kerap ‘menyerang’ warga yang masuk kategori miskin. Bentuknya beragam; mulai dari iming-iming uang tunai, sembako, janji-janji kesejahteraan, pemberian tur, ziarah Walisongo, pemberian seragam pengajian, hingga pembangunan insfrastruktur.
Deda Rainditya dari Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jawa Timur menjelaskan bahwa terdapat dua faktor utama yang mendorong praktik politik uang, yaitu kemiskinan serta kesenjangan antara konstituen.
“Kesenjangan itu memicu pragmatisme, calon diharapkan membawa sesuatu yang konkret bagi konstituen, selain menyampaikan aspirasi. Politik uang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses politik, khususnya di wilayah urban dan sub-urban, yaitu Surabaya Barat dan Surabaya Utara,” katanya.
Hasil survei KIPP Jawa Timur pada Pemilu 2019 menunjukkan bahwa 56,8% responden mengakui adanya praktik politik uang dengan rata-rata setiap politisi memberikan uang Rp 150.000 per orang. Deda juga memaparkan mengenai adanya pergeseran modus politik uang.
“Sebelumnya, diberikan secara langsung dari calon ke konstituen. Kini politik uang menggunakan peran tokoh masyarakat seperti RT, RW, tokoh agama, atau tokoh komunitas. Hal itu, membuat pengawasan dan pembuktian sulit, sebab informasi hanya diperoleh dari cerita warga,” tuturnya.
Temuan lain, hasil riset Pusat Studi Antikorupsi dan Demokrasi (PUSAD) Universitas Muhammadiyah Surabaya lebih mengejutkan. Terungkap bahwa 98,2% masyarakat di Jawa Timur masih mengharapkan pemberian uang dari politisi yang maju di Pilkada atau Pemilu. Data tersebut diambil dari 1.067 responden di 4-5 kecamatan di setiap 38 kabupaten/kota di Jawa Timur pada 5 Maret 2019 hingga 20 Maret 2019.
Lebih jauh, menurut hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Surabaya pada tahun 2019 sebanyak 130,55 ribu jiwa, tahun 2020 sebanyak 145,67 ribu jiwa, tahun 2021 sebanyak 152,49 ribu jiwa, tahun 2022 sebanyak 138,21 ribu jiwa, tahun 2023 sebanyak 136,37 ribu jiwa, dan tahun 2024 sebanyak 116,62 ribu jiwa.
Dari data tersebut, Direktur Eksekutif PUSAD Universitas Muhammadiyah Surabaya, Satria Unggul menegaskan bahwa suara warga miskin di Surabaya berpengaruh terhadap keterpilihan calon kepala daerah atau anggota legislatif. “Upaya untuk mengentaskan kemiskinan bukan lagi menjadi perhatian dari calon karena mereka memberi (politik uang) bukan untuk mengentaskan kemiskinan, tetapi upaya semacam pork barrel,” katanya.
Satria menyampaikan, terdapat empat pola yang seringkali dipakai dalam politik uang, yaitu menggunakan uang tunai, sembako atau bantuan sosial, dagang pengaruh atau trading of influence, pembangunan infrastruktur di kampung, sedekah politik, dan sejenisnya.
RD yang merupakan bekas warga Kampung 1001 Malam di Kota Surabaya mengaku pernah diiming-iming uang antara Rp 50.000 hingga Rp 100.000 menjelang Pilkada. “Bentuk permainan politik uang semakin berkembang pesat. Salah satu pola-pola politik uang yang pernah saya temui ialah pemberian tour, ziarah Walisongo, sembako, dan seragam pengajian,” katanya.
Cerita politik uang juga disampaikan TSR, warga Dupak Magersari yang hidup berdampingan dengan rel kereta api. Keluarganya sudah tinggal di kampung tersebut selama empat generasi. Ia guru mengaji dan sering membantu warga mengurus kesehatan anak-anak serta kebersihan kampung.
Menjelang Pilkada tahun 2020 lalu, TSR dan warga seringkali didatangi calon kepala daerah atau anggota dewan yang meminta dukungan suara. Ada 116 Kepala Keluarga (KK) yang terdata dan tak bisa diabaikan untuk menambah pundi-pundi suara bagi politisi.
Mereka, kata TSR, mengiming-imingi warga dengan materi agar mendapat suara. Pilkada lalu, uang tunai yang diberikan antara Rp 50.000 sampai Rp 100.000. “Pernah juga sembako, tapi isinya tidak lebih dari Rp 50.000. Intinya, mereka meminta suara dari warga,” katanya, Rabu (2/10/2024).
Ia mengaku menerima pemberian itu, tapi juga kecewa dengan politisi karena melupakan janji-janji politiknya. Hal itu membuat TSR trauma terhadap janji-janji politisi yang sangat manis.“Dulu ada caleg yang menjanjikan guru mengaji diberi gaji Rp1 juta per bulan, tapi sampai sekarang tidak ada kabar lagi,” tuturnya.
Cerita lain disampaikan oleh BBS warga Tambak Bayan. Kampung Tambak Bayan memiliki sejarah panjang, termasuk menjadi korban sengketa tanah yang melibatkan salah satu hotel di Surabaya.
Ia mengaku pernah mendapatkan janji-janji dari calon kepala daerah dan anggota dewan pada Pilkada tahun 2020. Salah satu politisi yang mendatangi Tambak Bayan itu mengatakan akan memperbaiki paving jalan serta selokan di kampung. “Waktu itu, kami dijanjikan anggaran Rp 50 juta tapi disuruh meminta izin ke pihak hotel. Jelas warga tidak mau. Akhirnya, kami perbaiki jalan kampung dan selokan pakai anggaran sendiri,” katanya.
Dikutip dari buku Sejarah Pengawasan Pemilu di Jawa Timur Periode 1999-2019 yang diterbitkan Bawaslu Jawa Timur, Ketua Panwaslu Jawa Timur, Sri Sugeng Pujiatmiko, mengungkapkan berdasarkan pengawasan Pemilu sebelumnya, politik uang menjadi kategori pelanggaran yang paling tinggi tercatat. Sugeng menjelaskan politik uang tidak hanya berupa pemberian uang, tetapi juga barang-barang.
Anggota Bawaslu RI, Lolly Suhenty, menjelaskan politik uang yang terjadi selama Pilkada atau Pemilu di Indonesia meliputi pemberian voucher atau uang tunai antara Rp 20.000 sampai Rp 200.000, pemberian alat ibadah, pemberian bahan bangunan, pembagian kompor gas, hadiah-hadiah lomba, pembagian pot bunga, serta beras bergambar peserta Pilkada atau Pemilu.
“Selain itu, pemberian bibit tanaman, pembagian kartu BLT, pembagian alat mesin rumput, pemberian janji, imbalan uang, atau barang saat masa tenang, menjanjikan pembangunan di wilayah tertentu, dan menjanjikan jasa atau keuntungan lain agar pemilih memberikan dukungan,” katanya.
Mengacu pada pernyataan Lolly, pemberian janji juga termasuk bentuk politik uang. Dalam temuan survei Indikator Politik Indonesia tentang Sikap dan Perilaku Terhadap Politik Uang menjelang Pemilu tahun 2014, ternyata pemilih bersikap terbuka dan permisif terhadap politik uang.