GENERASI, SURABAYA – Sekolah inklusi di Surabaya masih dianggap belum menciptakan suasana belajar yang benar-benar inklusif bagi siswa disabilitas. Banyak orang tua khawatir akan potensi perundungan, kurangnya kompetensi guru pendamping, dan fasilitas yang tidak memadai untuk mendukung pembelajaran siswa disabilitas.
Di sisi lain, Sekolah Luar Biasa (SLB) di Surabaya juga memiliki biaya yang cenderung tinggi. Hal ini menjadi beban bagi banyak orang tua siswa disabilitas yang berasal dari berbagai latar belakang ekonomi. Meskipun SLB dilengkapi dengan fasilitas yang memadai, tingginya SPP setiap bulan tetap menjadi tantangan bagi sebagian orang tua.
Menurut Ketua Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT), Tutus Setiawan, pendidikan untuk anak disabilitas di Surabaya dapat diakses melalui dua jalur utama, yaitu sekolah inklusi dan Sekolah Luar Biasa (SLB).
Di sekolah inklusi, siswa disabilitas belajar bersama siswa reguler. Namun, mereka menghadapi berbagai tantangan, seperti kuota penerimaan siswa disabilitas yang terbatas—hanya menerima siswa dengan IQ minimal 70—fasilitas yang belum memadai, dan jumlah Guru Pendamping Khusus (GPK) yang masih sedikit. Hal ini sesuai dengan keluhan yang disampaikan banyak orang tua.
Tutus menambahkan bahwa SLB dirancang khusus untuk anak disabilitas. Sayangnya, hampir 90% biaya pendidikan di SLB harus ditanggung oleh orang tua. Dari 40-50 SLB yang ada, tidak ada satu pun SLB negeri di Surabaya.
“Pemerintah seharusnya menyediakan SLB Negeri agar pendidikan bagi anak-anak disabilitas bisa gratis. Saat ini, pemerintah berencana mengonversi beberapa SLB Swasta menjadi SLB Negeri, namun proses negosiasi masih berlangsung,” tegasnya.
Selain masalah biaya, Tutus menambahkan bahwa tantangan lain yang dihadapi adalah fasilitas belajar dan kualitas guru. Banyak SLB yang hanya berupa rumah biasa dan belum dilengkapi dengan fasilitas yang memadai, terutama untuk anak disabilitas netra yang memerlukan alat khusus, seperti printer braille yang sangat mahal. Selain itu, jumlah guru yang memiliki kompetensi khusus untuk menangani anak disabilitas masih terbatas.
“Semoga pemerintah dapat segera merealisasikan rencana pembentukan SLB Negeri, sehingga pendidikan bagi anak disabilitas dapat diakses secara lebih merata dan terjangkau,” tuturnya.
Menurut data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 2021, jumlah SLB swasta di Indonesia tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan SLB negeri, dengan 595 SLB negeri dan 1.655 SLB swasta.
Jawa Timur memiliki jumlah SLB terbanyak di Indonesia, namun di Kota Surabaya hanya terdapat SLB swasta. Sebagian besar SLB di provinsi ini masih mengkhususkan diri pada beberapa jenis disabilitas tertentu dan sering menggabungkan 2-3 jenis disabilitas dalam satu sekolah.
Jawa Timur adalah provinsi yang memberikan perhatian khusus terhadap Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK), sebagaimana tertuang dalam Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif. Kota Surabaya juga menunjukkan kepedulian yang besar terhadap PDBK, yang dinyatakan dalam Peraturan Walikota Surabaya Nomor 47 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan.
Namun, hingga saat ini, Surabaya belum memiliki regulasi khusus mengenai pendidikan inklusif dan masih mengacu pada Peraturan Gubernur Jawa Timur sebagai dasar hukumnya.
Berdasarkan data dari Dinas Sosial Kota Surabaya tahun 2017, jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) usia sekolah di Surabaya mencapai 5.735 anak, terdiri dari 2.694 anak berusia 6-12 tahun, 813 anak berusia 13-15 tahun, dan 2.228 anak berusia 16-18 tahun, dengan PDBK tersebar di berbagai jenjang pendidikan.
Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menyebutkan 40 SLB swasta berada di Surabaya, tetapi sebagian besar SLB tersebut berlokasi di Surabaya Pusat, Surabaya Timur, dan Surabaya Selatan. Sedangkan di Surabaya Barat, belum ada SLB.
Kegelisahan Orang Tua Disabilitas
Tak hanya dari distribusi lokasi, sekolah inklusi belum dinilai benar-benar inklusi. Ida Fitriana (47), merasa bahwa sekolah inklusi, khususnya di tingkat SMP, kurang memberikan perhatian terhadap kebutuhan belajar putrinya, Alivia Juli Saraswati, yang mengalami disabilitas grahita. Anak-anak dengan tunagrahita memerlukan perhatian khusus dari guru pendamping, yang berbeda dengan kebutuhan anak-anak lainnya.
“Saya menganggap masuk SMP inklusi pilihan yang salah. Sekolah inklusi itu untuk anak-anak seperti Lili. Tapi, sekolah inklusi di SD Negeri, SMP Negeri, atau SMA Negeri (di Surabaya) kalau untuk anak-anak dengan tuna grahita, tidak cocok,” katanya pada Minggu (25/8/2024).
Akhirnya, Ida memilih SLB AKW Kumara sebagai tempat belajar Lili di tingkat SMA. Namun, ia menambahkan bahwa kualitas pendidikan di SLB tersebut masih belum optimal. Beberapa masalah yang dihadapi termasuk tenaga pendidik yang kurang kompeten, fasilitas belajar yang jarang digunakan, dan kurangnya inovasi dalam metode pengajaran.
“Banyak guru-guru relatif berusia lanjut, tidak ada guru-guru muda. Untungnya, SLB itu murah karena memang jumlah muridnya tidak banyak. Jika mereka menaikkan biaya, kemungkinan akan sedikit murid yang mendaftar. SPP-nya Rp150.000,” tuturnya.
Namun, di tengah keluhannya, Ida berharap pemerintah dapat menyediakan SLB negeri di Surabaya untuk meringankan beban biaya bagi orang tua yang kurang mampu dan memberikan akses pendidikan yang lebih layak bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
“Sekolah umum saja punya sekolah negeri, seharusnya SLB juga. Dan, seharusnya difasilitasi, kan seperti itu. Jadi, pendidikannya itu sebanding antara anak inklusi dengan anak SLB,” katanya.
Dilema juga dialami Erni Yuliatin (41) dalam mengupayakan pendidikan anaknya, Asyifa Choirun Nisa, yang mengalami disabilitas rungu. Syifa, panggilan akrabnya, memulai pendidikan TK di SLB Karya Mulia selama tiga tahun dan kini duduk di kelas 6 SD di sekolah yang sama.
Menurut Erni, biaya pendidikan di TK dan SD SLB Karya Mulia cenderung mahal. Meskipun demikian, ia merasa bahwa fasilitas yang diberikan sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Erni berharap Syifa dapat melanjutkan ke SMP di SLB Karya Mulia, meskipun ia sempat mempertimbangkan untuk mendaftarkan anaknya di sekolah inklusi.
“Memang, SLB itu swasta, jadi biayanya cukup mahal menurut saya. Mau tidak mau, harus diusahakan, walau kemampuan finansial terbatas. Dulu biaya TK sekitar Rp250.000, sekarang untuk SD naik menjadi Rp350.000,” katanya pada Minggu (25/8/2024).
Menurut Erni, jika Syifa memilih sekolah inklusi, ia khawatir anaknya akan mengalami perundungan. Melihat kondisi yang ada, siswa disabilitas belum menjadi prioritas di sekolah inklusi, sehingga ini menjadi tantangan tersendiri bagi ABK.
“Dulu, saya pernah berpikir memilih sekolah inklusi, karena biayanya mahal (di SLB Swasta). Namun, setelah dipertimbangkan, saya khawatir ada perundungan dan pendidikan yang kurang tepat untuk anak saya. Di sekolah inklusi, anak-anak bercampur dengan yang lain, jadi saya merasa kurang cocok,” tuturnya.
Erni berharap agar pemerintah menyediakan SLB negeri yang dapat mengurangi beban biaya bagi orang tua. Ia percaya bahwa keberadaan SLB negeri akan memungkinkan siswa disabilitas untuk lebih menonjolkan dan mengembangkan keterampilan yang mereka miliki.
“Saya berharap ada SLB Negeri. Semoga sekolah Syifa bisa menjadi SLB Negeri, sehingga dapat meringankan biaya. Selain itu, keterampilan di sekolah-sekolah SLB juga perlu lebih ditonjolkan dan dikembangkan,” ujarnya.
Pentingnya Kecukupan dan Kecakapan Tenaga Pendidik
Kurangnya pengalaman tenaga pendidik dalam menangani keberagaman siswa, menjadi salah satu faktor penyebab penanganan pendidikan disabilitas menjadi kurang tepat.
Selain itu, ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi. Mulai program pembelajaran yang masih belum sesuai dengan kebutuhan siswa disabilitas yang beragam; fasilitas yang kurang lengkap untuk mengembangkan potensi individual; dukungan orang tua dan masyarakat yang masih terbatas; dan kendala biaya pendidikan yang tinggi. Tak bisa dipungkiri, ini lantaran kondisi ekonomi masyarakat yang beragam.
Psikolog anak, Linda Hartati menekankan pentingnya menyediakan alat bantu pembelajaran yang sesuai untuk anak disabilitas. “Seperti ruang belajar yang nyaman dan aman, serta alat belajar yang mengandung unsur terapi,” katanya pada Rabu (31/7/2024).
Dampak dari biaya pendidikan yang tinggi seringkali membuat keluarga dengan kondisi ekonomi terbatas memilih untuk tidak menyekolahkan anak disabilitas mereka. Solusi yang diusulkan adalah penyediaan SLB negeri yang didukung oleh pemerintah, dengan tenaga pengajar yang berpengalaman dan fasilitas yang memadai.
“Model pendidikan SLB yang direkomendasikan adalah pembelajaran individual dan pengembangan kemampuan vokasional sesuai bakat dan kemampuan masing-masing siswa,” tuturnya.
Anggota Komisi E Bidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi DPRD Jawa Timur, Hikmah Bafaqih, menyampaikan bahwa pihaknya sedang mengkaji dan memberikan masukan untuk perubahan Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2019 tentang Biaya Penunjang Operasional Penyelenggaraan Pendidikan (BPOPP) terkait SLB. BPOPP adalah pembagian anggaran yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur kepada sekolah negeri dan swasta, termasuk SMA/SMK/MA, serta SLB di semua jenjang.
“BPOPP satuannya berdasarkan jumlah siswa, dan karena jumlah siswa di SLB biasanya tidak banyak, kami mengusulkan agar dalam perubahan Pergub tersebut, besaran anggaran per anak khusus di SLB dibedakan,” katanya pada Sabtu (7/9/2024).
Hikmah menambahkan bahwa kebutuhan SLB jauh lebih besar dibandingkan dengan sekolah reguler. Oleh karena itu, perhatian khusus terhadap SLB, baik negeri maupun swasta, perlu dilakukan melalui berbagai program peningkatan kapasitas dan kompetensi guru, serta bantuan untuk infrastruktur, belanja modal, dan peralatan.
Mantan Sekretaris Komisi D Bidang Kesejahteraan Rakyat DPRD Surabaya, Akmarawita Kadir, menjelaskan bahwa proses penyediaan SLB negeri mengikuti aturan Permendikbud Nomor 48 Tahun 2023, yang mengatur perlunya akomodasi layak di setiap satuan pendidikan. Di Surabaya, SLB negeri termasuk dalam satuan pendidikan dasar dan menengah negeri.
“Jadi, SD Negeri dan SMP Negeri di kota Surabaya, mulai tahun ajaran 2024/2025, harus siap menerima pendaftaran dan menyediakan akomodasi yang layak untuk penyandang disabilitas berbasis kesetaraan. Proses ini akan dilakukan secara bertahap sehingga seluruh SD Negeri dan SMP Negeri dapat menerima penyandang disabilitas,” katanya pada Sabtu (7/9/2024).
Saat ini, Akma menyebutkan bahwa proses penyediaan SLB negeri sudah berjalan secara bertahap. Fasilitas dan Sumber Daya Manusia (SDM), terutama Guru Pendamping Khusus (GPK), harus dipersiapkan dan ditingkatkan. Menurutnya, Pemerintah Kota Surabaya perlu fokus pada kedua aspek tersebut untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan penyandang disabilitas sesuai dengan kurikulum.
“Kami juga meminta evaluasi, hasil evaluasi akan dikoordinasikan dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, karena pembangunan SLB berada pada domain Pemerintah Provinsi Jawa Timur,” tuturnya.
Ia menegaskan bahwa baik sekolah swasta maupun negeri di Surabaya harus mampu menyediakan dan menerima penyandang disabilitas. Menurut Akma, ini harus dilakukan secara berjenjang, tetapi yang terpenting adalah fokus pada Sumber Daya Manusia (SDM) dan fasilitas.
“Guru-guru di SLB, seperti guru lainnya, harus diusulkan untuk diterima menjadi PNS atau P3K. Guru-guru yang sudah ada juga dapat mengikuti pelatihan khusus sesuai Permendikbud dan harus mendapatkan tunjangan kinerja,” ujarnya.
TAkma menyampaikan bahwa perundungan di sekolah inklusi masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama. Semua pihak, menurutnya, harus menyikapi masalah ini dengan bijak dan memberikan contoh yang baik.
“Termasuk orang tua, guru, media sosial, dan masyarakat dari berbagai bidang harus memberikan contoh yang baik, sebab perundungan adalah sikap yang tidak baik dan harus dihindari,” katanya. (*)
Penulis: Rangga Prasetya Aji Widodo
Referensi:
- Artikel berjudul Dibutuhkan: SLB Negeri untuk Layanan Lebih Inklusif yang dipublikasi pada 21 September 2024 – https://independen.id/dibutuhkan-slb-negeri-untuk-layanan-lebih-inklusif
- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 2021 mengenai Jumlah SLB Swasta dan SLB Negeri di indonesia – https://goodstats.id/article/jumlah-sekolah-luar-biasa-di-indonesia-tidak-merata-sekolah-swasta-mendominasi-aH2ys#:~:text=Meskipun%20di%20banyak%20provinsi%20mayoritas,wilayah%20tengah%20dan%20timur%20Indonesia
- Dinas Sosial Kota Surabaya tahun 2017 mengenai Jumlah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Berdasarkan Usia – https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/publika/article/download/39118/34310/
- Data Sekolah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI mengenai Jumlah SLB Swasta di Surabaya – https://dapo.kemdikbud.go.id/sp/2/056000