GENERASI, SURABAYA – Merantau menjadi tantangan sekaligus peluang bagi yang menjalaninya, tidak terkecuali mahasiswa. Banyak hal baru yang dapat ditemui di tanah rantau, pun kebiasaan yang hilang dari rumah ikut terasa.
Bagi anak muda, seperti mahasiswa, kedekatan dengan keluarga tidak terasa lagi di tanah rantau. Tanah rantau, tempat mereka kuliah juga bisa menjadi pintu masuk meniti karir yang lebih cemerlang.
Sebuah studi pada Jurnal MediaPsi berjudul “Rumah Tempat Kembali: Pemaknaan Rumah Terhadap Mahasiswa Rantau” (2020) yang dikerjakan oleh Clement Eko Prasetio, Esther Gustara, dan Aulia Hanafitri dari Fakultas Psikologi, Universitas Padjajaran menunjukkan beberapa hal yang dirindukan mahasiswa perantau.
Penelitian yang menggali data terhadap 15 mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia itu menunjukkan perasaan, aktivitas, rutinitas, makanan, hewan peliharaan, keluarga dan teman, suasana rumah, serta kamar, sebagai yang paling sering dirindukan di tanah rantau. “Perasaan nyaman, aman, dan ceria yang biasa dirasakan di rumah menjadi hal yang sangat dirindukan,” jurnal itu menyebut pada halaman 136 dan 137.
Penelitian itu juga menemukan dua makna rumah bagi mahasiswa perantau, yaitu “rumah adalah perasaan” dan “rumah adalah keluarga”.
Rumah dimaknai sebagai kumpulan perasaan positif seperti aman dan nyaman. Serta, rumah pun dimaknai sebagai orang-orang yang bermakna seperti keluarga yang memberikan dukungan dan tempat untuk berinteraksi.
Jurnal itu menjelaskan pencegahan homesickness pada mahasiswa perantau sehingga lingkungan yang positif dan interaktif perlu diciptakan di perguruan tinggi agar mahasiswa perantau dapat menemukan hal-hal yang mampu memenuhi ekspektasi mereka terhadap “rumah”.
Shima Qurrota (19) mahasiswi program studi Bimbingan dan Konseling Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Ampel Surabaya memaknai “rumah” sebagai tempat yang membuat nyaman. Bagi perempuan asli Ponorogo itu “rumah” tidak hanya dimaknai sebagai bangunan, namun juga sesuatu yang sangat berarti di dalam hidupnya.
Selain itu, ia menganggap bahwa jarak sejauh 190 kilometer antara Ponorogo dan Surabaya bukan menjadi penghalang untuk bertukar kabar dengan keluarga di rumah. Apalagi, era digital seperti sekarang, komunikasi dengan keluarga di rumah dapat dilakukan secara cepat dan efektif.
“Perbedaannya terletak di rasa ketergantungan saya. Pastinya saya lebih menggantungkan kehidupan dengan orang rumah di tempat asal, dibanding di tempat rantau. Ketergantungan itu berkaitan dengan kebutuhan primer,” ujarnya, Kamis (28/3/2024).
Menurut Stroebe, Schut, dan Nauta (2015) homesickness merupakan fenomena yang menyerupai perasaan berduka ketika ditinggalkan orang yang dikasihi. Thurber dan Walton (2012) juga menulis, homesickness berkepanjangan mempunyai dampak buruk seperti kesepian, isolasi sosial, depresi, masalah ingatan, penurunan imun tubuh, bahkan diabetes.
Dosen Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Dessi Christanti menjelaskan bahwa rumah tidak hanya dimaknai secara fisik (house). Namun, rumah (home) berarti tempat individu merasa memiliki ikatan dan hubungan sosial dengan penghuni rumah.
Dessi mengatakan bahwa faktor itulah yang membuat mahasiswa perantau merindukan rumah. Ketika pulang ke rumah atau kampung halaman, mahasiswa perantau merasakan recharge energi agar dapat menjalani aktivitas di tempat rantau kembali. Mereka perlu merasakan keamanan, kenyamanan, dan kehangatan sebuah rumah.
“Saya mengutip kata-kata Lionel Richie, seorang penyanyi, dalam film “The Greatest Night in Pop”. Lionel Richie berkata bahwa ayahnya selalu bilang, ‘nikmati pulang, karena tiba saatnya kamu tidak bisa pulang,’ katanya. Ketika Lionel Richie bertanya mengapa? Ayahnya menjelaskan, ‘Rumah akan tetap ada, tapi orang-orang dalam rumah suatu saat tidak ada’,” tuturnya, Jumat (29/3/2024).
Bagi sebagian mahasiswa yang merindukan rumah, pulang dapat diartikan bertemu kembali dengan kebersamaan keluarga. Rasa kebersamaan ini membuat mereka merasa aman dan nyaman. Situasi ini memberikan motivasi tersendiri bagi para perantau sehingga ketika kembali ke tempat perantauan, ada energi yang ikut terbawa.
Energi ini seperti terisi kembali saat menjejakkan kaki di rumah. “Akhirnya, bisa tidur di rumah lagi setelah berjuang mandiri begitu lama. Rasanya sangat senang dan lega,” ucap Shima. (*)
Penulis: Rangga Prasetya Aji Widodo