GENERASI, SURABAYA – Pertemuan tatap muka, tak selalu menatap muka. Budaya yang baru muncul ketika banyak orang memiliki gawai di zaman sekarang. Mudahnya mengakses internet di tempat nongkrong, juga telah membuat orang lebih seru mengamati informasi di gawai mereka masing-masing.
Remaja memiliki kecenderungan melakukan budaya yang lebih memilih bermain smartphone, yang umum dikenal dengan istilah phubbing. Mereka lebih memilih phubbing daripada meluangkan waktu berkualitas untuk bercengkrama dengan teman sebayanya, menyebabkan penurunan kualitas pertemanan.
Studi dalam Jurnal MediaPSi berjudul “Perilaku Phubbing dengan Kualitas Persahabatan Remaja di Pekanbaru” yang ditulis oleh Tebi Heriandy, Ardian Adi Putra, dan Nurul Aiyuda dari Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Politik, Universitas Abdurrab tahun 2023 mengemukakan, perilaku phubbing memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap kualitas persahabatan 348 remaja di Pekanbaru.
“Semakin tinggi perilaku phubbing, maka semakin rendah kualitas persahabatan. Sebaliknya, semakin rendah perilaku phubbing, maka semakin tinggi kualitas persahabatan remaja di Pekanbaru,” tulis penelitian itu.
Hasil penelitian ini sejalan dengan teori atribusi motivasi Weiner yang menyatakan bahwa terdapat faktor internal dan eksternal yang berkontribusi pada perilaku phubbing. Faktor internal meliputi kemampuan individu untuk beradaptasi saat berinteraksi dengan sahabat mereka. Sementara faktor eksternal meliputi ketersediaan fitur smartphone dan perubahan kebijakan di era new normal yang membuat sulit bagi individu untuk meninggalkan smartphone.
Peneliti menjelaskan bahwa perilaku phubbing yang dilakukan dengan tujuan menyakiti lawan bicara akan menurunkan kualitas persahabatan. Namun jika perilaku tersebut memiliki urgensi yang jelas dan dapat dipahami oleh lawan bicara, hal itu tidak akan memberikan dampak yang berlebihan terhadap penurunan kualitas persahabatan.
Yuliana (2015) menjelaskan bahwa kualitas persahabatan yang rendah berkontribusi terhadap rendahnya penyesuaian sosial yang dapat menimbulkan rasa kesepian dan berujung pada depresi, sehingga penting untuk mencegah timbulnya suatu konflik dalam hubungan persahabatan agar dapat meningkatkan kualitas persahabatan.
Di sisi lain, Ilham dan Rinaldi (2019) menuliskan bahwa perilaku phubbing datang karena kesulitan seseorang untuk jauh dari smartphone atau ponselnya sehingga memunculkan sifat pengabaian terhadap lingkungan di sekelilingnya.
“Hal itu, disebabkan karena fokus yang berlebihan pada smartphone atau ponselnya ketika sedang menghabiskan waktu bersama secara langsung dengan teman, sahabat, pasangan ataupun keluarga,” tulis peneliti di halaman 6.
Feby Tria (18), seorang pelajar dari SMA Negeri 1 Singosari, Kabupaten Malang, sering menemukan teman sebayanya berperilaku phubbing ketika berkumpul bersama. Ia merasa terganggu dengan perilaku tersebut, karena seharusnya teman sebayanya berinteraksi tanpa terlalu asik memainkan smartphone masing-masing.
Selain itu, Tria berpendapat bahwa perilaku phubbing bisa terjadi karena kebiasaan. Kebiasaan teman sebayanya yang menggunakan smartphone sepanjang waktu membuat mereka nyaman dengan zona itu dan mengurangi interaksi dengan teman sebayanya. Hal ini membuat kualitas interaksi dengan teman sebayanya menurun, sehingga Tria merasa enggan berkumpul dengan teman sebayanya lagi.
“Karena itu (perilaku phubbing), saya juga melakukan hal yang sama. Percuma berkumpul jika semua orang sibuk dengan ponselnya masing-masing,” ujarnya pada Senin (1/4/2024).
Dosen Psikologi, Universitas Brawijaya, Ari Pratiwi mengatakan bahwa lingkungan keluarga mempengaruhi perilaku phubbing pada remaja. Bentuk attachment (kelekatan remaja kepada orang tua) yang tidak sehat dapat menyebabkan remaja lebih cenderung melakukan phubbing.
Misalnya, ketika remaja membuka smartphone berkali-kali untuk menghindari percakapan dengan orang tuanya atau meniru perilaku orang tuanya yang suka memainkan smartphone saat berbicara dengan keluarga di rumah.
Selain itu, Ari mengatakan bahwa perilaku phubbing juga dapat dipengaruhi oleh kecanduan ponsel. Jika remaja mengalami kecanduan terhadap gadget, maka dia bisa menjadi phubbing.
“Karena dia memiliki kebutuhan-kebutuhan lain, seperti kebutuhan untuk diakui, kebutuhan untuk disukai, kebutuhan untuk terus terhubung dengan teman-temannya, dan dengan dunia lain yang ada di gadget-nya, itu membuatnya sulit mengontrol diri,” tuturnya pada Minggu (31/3/2024).
Ari menjelaskan bahwa phubbing juga berkaitan dengan gaya komunikasi. Beberapa remaja memiliki gaya komunikasi yang tidak langsung. Gaya komunikasi ini dianggap lebih nyaman karena memungkinkan remaja menjadi diri mereka sendiri, sehingga tanpa disadari mereka melakukan phubbing.
“Namun, phubbing membuat orang lain merasa tidak dihargai. Dalam persahabatan, hal ini akan mengakibatkan kurangnya saling menghargai. Hal ini dapat berdampak negatif dalam jangka panjang,” tuturnya.
Oleh karena itu, menurut Ari, strategi yang dapat dilakukan adalah melakukan kampanye. Kampanye tentang kesehatan mental dan dampak buruk dari phubbing itu sendiri. Diharapkan kampanye ini dapat mengurangi perilaku phubbing yang terjadi pada remaja. (*)
Penulis: Rangga Prasetya Aji Widodo