GENERASI, SURABAYA – Keberadaan teknologi digital dan media sosial telah membuat informasi bergerak begitu cepat. Peristiwa penting silih berganti menghiasi tampilan media sosial pengguna. Ada tren terbaru bagi mereka yang memiliki kekhawatiran tertinggal dari informasi penting atau viral di internet.
Banyak sekali orang merasakan ketakutan kehilangan momen atau aktivitas orang lain terkini yang ramai diperbincangkan di internet. Situasi ini lazim disebut Fear of Missing Out (FOMO). Kehidupan modern saat ini juga memunculkan istilah self-esteem.
Istilah ini digunakan untuk menggambarkan cara pandang seseorang menilai dirinya sendiri. Bisa jadi, self-esteem memunculkan perasaan percaya diri, mencintai diri sendiri, menghargai diri, dan menerima kekurangan atau kelebihan sendiri. Kondisi sebaliknya juga bisa terjadi.
Penelitian dalam Jurnal Psikologi Poseidon berjudul “Self-Esteem dan Kepuasan Hidup dengan FOMO pada Remaja” yang ditulis oleh Hasna Farida, Weni Endahing, dan Lutfi Arya dari Fakultas Psikologi Universitas Hang Tuah Surabaya pada tahun 2021, menyimpulkan terdapat hubungan antara kepuasan hidup dengan FOMO pada remaja dengan arah hubungan negatif. Semakin rendah kepuasan hidup maka semakin tinggi FOMO. Semakin tinggi kepuasan hidup maka semakin rendah FOMO.
Tesis berjudul “Hubungan Kebutuhan Berelasi dan Fear of Missing Out dengan Harga Diri sebagai Variabel Moderator” yang ditulis Cahyani Indah Triani dan Neila Ramdhani dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2017 menyatakan bahwa self-esteem merupakan salah satu variabel yang terbukti menjadi prediktor signifikan terhadap munculnya FOMO terhadap seseorang.
“Karena bila individu memiliki self-esteem yang tinggi maka individu tersebut akan termotivasi menunjukkan dirinya lebih baik daripada orang lain sehingga menimbulkan tingkat FOMO yang tinggi,” kutip peneliti di halaman 69.
Di sisi lain, hasil penelitian tersebut juga menunjukkan adanya hubungan negatif antara kepuasan hidup dengan FOMO pada remaja. Sebab, semakin rendah kepuasan hidup yang dimiliki remaja, maka semakin tinggi tingkat FOMO yang dialaminya.
Sebaliknya, semakin tinggi kepuasan hidup remaja, maka semakin rendah tingkat FOMO tersebut. Peneliti juga menemukan bahwa rata-rata remaja menghabiskan waktu online untuk mengakses media sosial selama lebih dari 5 jam per hari.
Berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (2024), jumlah penduduk terkoneksi internet di Indonesia pada 2018 hanya 64,8 persen, kemudian naik menjadi 73,7 persen pada 2020, lalu tumbuh menjadi 77,01 persen pada 2022, dan pada 2023 mencapai 78,19 persen.
Dilihat dari segi demografis dan umur, paling banyak yang mengakses internet adalah Gen Z (kelahiran 1997-2012) dengan jumlah kontribusi 34,40 persen. Kemudian diikuti generasi milenial (kelahiran 1981-1996) sebanyak 30,62 persen.
Rata-rata dari mereka yang menggunakan media sosial selama lebih dari 2 jam, akan memiliki resiko tinggi kecemasan karena membandingkan diri sendiri dengan objek yang dianggap ideal pada sosial media.
Penggunaan media sosial yang berlebihan memicu munculnya FOMO, karena remaja ingin selalu terhubung dengan aktivitas orang lain dan merasa gelisah ketika tidak mengikuti informasi terbaru.
Destira Sannu (18), pelajar dari SMKN 12 Malang, merupakan salah satu remaja yang memiliki tingkat self-esteem tergolong rendah. Hal ini disebabkan karena ia merasa belum berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai sesuatu. Namun, Destira juga tidak terlalu memikirkan apa yang dilakukan oleh orang lain. Melainkan ia akan lebih fokus terhadap dirinya sendiri.
“Saya bahagia, walaupun keinginan saya belum tercapai sepenuhnya tetapi saya sangat bersyukur,” tuturnya, Jumat (24/5/2024).
Menurut Destira, orang-orang yang dianggap FOMO adalah mereka yang selalu membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Ia beranggapan, bahwa sebenarnya orang-orang itu sudah puas terhadap apa yang sudah dilakukan, namun pencapaian orang lain dianggap lebih baik dari pencapaian diri sendiri. Sehingga mereka akan kehilangan kepuasan terhadap dirinya sendiri.
“Agar merasa lebih baik, kita perlu membandingkan diri sendiri di saat ini dengan masa lalu. Jadi fokus terhadap usaha yang saya lakukan sendiri,” tuturnya.
Dosen Psikologi Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Siti Jaro’ah berpendapat bahwa pengaruh antara self-esteem dengan perilaku FOMO memiliki korelasi yang negatif. Jika seseorang memiliki self-esteem yang tinggi maka kecenderungan mengalami FOMO semakin kecil, sehingga mereka yang memiliki self-esteem tinggi justru tidak rentan mengalami FOMO.
“Mereka dengan self-esteem tinggi melihat dirinya secara positif. Cukup puas dengan dirinya, pencapaiannya, dan apa yang dimiliki. Sehingga tidak gampang FOMO dan tidak gampang ikut-ikutan,” ujarnya, Jumat (17/5/2024).
Jaro’ah juga menjelaskan jika kepuasan hidup dengan FOMO juga berkaitan, dua hal ini saling mempengaruhi satu sama lain. Ketidakpuasan hidup bisa menimbulkan FOMO, begitupun sebaliknya. Individu yang FOMO bisa berujung pada ketidakpuasan hidup.
Perilaku FOMO pada remaja akan berpengaruh secara psikologis maupun sosial. Ketika remaja tersebut memiliki perilaku FOMO, maka kemungkinan besar akan mengalami kecemasan, rasa tidak percaya diri, bahkan bisa mengakibatkan depresi.
Kehidupan sosial di dunia nyata pun akan terganggu akibat dari ketergantungan penggunaan sosial media yang bisa berdampak juga terhadap prestasi akademik dan kehidupan sekolah.
“Jadi hal yang bisa dilakukan adalah dengan fokus terhadap kelebihan, bukan kekurangan. Mereka harus mengurangi penggunaan sosial media, kalau tidak bisa dipaksakan atau dijadwalkan. Selain itu juga bisa dengan mencari koneksi atau membangun relasi di dunia nyata. Jangan lupa harus banyak bersyukur dan tidak membanding-bandingkan,” pungkasnya. (*)
Penulis: Rangga Prasetya Aji Widodo
Referensi:
- Hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (2024)
- Jurnal Psikologi Poseidon berjudul “Self-Esteem dan Kepuasan Hidup dengan FOMO pada Remaja” yang ditulis oleh Hasna Farida, Weni Endahing, dan Lutfi Arya dari Fakultas Psikologi Universitas Hang Tuah Surabaya pada tahun 2021
- Tesis berjudul “Hubungan Kebutuhan Berelasi dan Fear of Missing Out dengan Harga Diri sebagai Variabel Moderator” yang ditulis Cahyani Indah Triani dan Neila Ramdhani dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 2017