GENERASI, SURABAYA – Penggunaan antibiotik tanpa anjuran dokter bisa berakibat fatal. Masyarakat harus memiliki kesadaran akan hal ini. Apalagi jika digunakan secara serampangan, bakteri atau bahkan virus justru bisa kebal terhadap antibiotik tersebut.
Kondisi seperti itu lazim disebut Resistensi Antimikroba (AMR). Dalam sejumlah laporan ilmiah, AMR telah menjadi salah satu ancaman mendesak bagi kesehatan masyarakat secara global.
Fenomena itu terjadi ketika mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit mampu beradaptasi dan kebal terhadap obat-obatan. Hal itu, menyebabkan penyakit yang sulit diobati, rawat inap yang lebih lama, peningkatan biaya perawatan kesehatan, dan kegagalan pengobatan.
Iftita Via (29), seorang ibu rumah tangga di Kabupaten Malang mengaku sangat berhati-hati mengkonsumsi antibiotik. Ia merupakan salah satu pengguna antibiotik amoxicillin untuk mengobati rasa sakitnya.
Via, panggilan karibnya, merasa menggunakan obat tersebut dapat mempercepat penyembuhan. Namun ia mengetahui dampak buruk dari penyalahgunaan antibiotik, sehingga ia sangat berhati-hati menggunakannya.
Selama mengkonsumsi antibiotik, Via selalu menggunakan resep dokter. Ia tidak akan pernah asal membeli antibiotik tanpa resep dari dokter. Baginya, sangat penting sekali mengikuti ajuran dokter.
“Penting sekali untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akibat penggunaan antibiotik secara berlebihan dan tidak sesuai dengan resep dokter, karena kalau menggunakan antibiotik berlebihan akan tidak baik. Jadi, sesuai anjuran dokter saja,” ujarnya.
Dalam buku berjudul “Antimicrobial Resistance: Tackling a Crisis for the Health and Wealth of Nation” yang ditulis Jim O’Neill pada tahun 2014, penelitian RAND Europe dan KPMG memproyeksikan potensi peningkatan AMR, sehingga diperkirakan PDB global akan turun 2% hingga 3,5% pada tahun 2050.
Angka itu setara dengan kehilangan sekitar satu tahun total output global, dengan dampak terbesar di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Apa yang ditulis Jim O’Neill itu, dikuatkan oleh Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Mario Lintang Pratama. Dalam kegiatan yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya dan World Organization of Animal Health (WOAH) di Surabaya, Mario mengatakan bahwa AMR berpotensi menjadi silent pandemic yang menyebabkan 10 juta kematian penduduk di dunia pada tahun 2050.
“Di Asia-Pasifik, hampir 50 persen akan mengalaminya apabila tidak dapat mengendalikan AMR secara baik. Strateginya, Presiden telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2019. Kami terjemahkan bersama Kementerian Perekonomian untuk koordinasi di bidang PMK Nomor 7 Tahun 2021 dengan mengeluarkan rencana strategis nasional,” katanya beberapa waktu lalu.
Mario menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk mengantisipasi kondisi terburuk di masa mendatang. Kemenko PMK melalui sektor pertanian menurunkan beberapa peraturan undang-undang seperti Peraturan Menteri Nomor 14 tahun 2017, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 16 Tahun 2021, Kepdirjen Nomor 09111 Tahun 2018, dan turunan peraturan lainnya.
Studi dalam Jurnal Infection and Drug Resistance berjudul “Antimicrobial Resistance: Implications and Costs” yang dikerjakan oleh Porooshat Dadgostar dari Milken Institute of Public Health, George Washington University pada tahun 2019, menyampaikan faktor-faktor yang mempercepat penyebaran AMR.
Penyalahgunaan dan penggunaan antibakteri secara berlebihan di lingkungan pelayanan kesehatan dan industri pertanian dianggap sebagai alasan utama munculnya resistensi antimikroba.
Ia juga menjelaskan, peningkatan pendapatan di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah telah mendorong konsumsi antibiotik yang meningkat tajam, melebihi negara maju. Pada tahun 2015, empat dari lima negara dengan konsumsi antibiotik tertinggi adalah negara berpenghasilan menengah.
Dalam jurnal itu, Porooshat juga menjabarkan bahwa AMR berdampak serius terhadap tiga level, yaitu pasien, perawatan kesehatan, dan ekonomi. Akibat yang dialami level pasien, AMR meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Sehingga, diperkirakan 10 juta orang akan meninggal akibat AMR pada tahun 2050 jika tidak ada tindakan, jauh melebihi kematian akibat kanker (8,2 juta kematian/tahun) atau diabetes (1,5 juta kematian/tahun).
“Sedangkan, pada level perawatan kesehatan, AMR menambah biaya perawatan hingga $1.400 per pasien di AS, dan berpotensi menambah $2 miliar per tahun. Selain itu, AMR juga membatasi prosedur medis penting seperti transplantasi organ dan kemoterapi,” kutipan pada penelitian tersebut.
Pada level ekonomi AMR diperkirakan akan mengurangi PDB global hingga 1% dan 5-7% di negara berkembang pada tahun 2050, setara dengan kerugian $100-210 triliun. Selain itu, AMR juga menurunkan produktivitas tenaga kerja akibat kematian dini.
Untuk mengatasi ancaman AMR yang semakin meningkat, tidak cukup hanya bersandar pada undang-undang saja. Diperlukan kolaborasi yang kuat antar tenaga kesehatan, apoteker, dan masyarakat.
Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba, dr. Harry Parathon menyampaikan bahwa peran apoteker sesuai dengan keilmuannya, yaitu memastikan antibiotik sesuai indikasi, jenis pilihan, tepat dosis, tepat interval, tepat durasi, dan paham efek samping.
“Apabila bertugas di apotek, tidak menjual antibiotik secara bebas, memberi edukasi mengenai kegunaan dan bahaya dari antibiotik, terlibat pada program pengendalian antibiotik, memastikan antibiotik sesuai golongan Acces, Watch, dan Reserve sesuai kebutuhan pasien,” katanya pada Generasi News, Jumat (5/4/2024).
Di sisi lain, menurut dr. Harry, tantangan bagi apoteker untuk mengendalikan AMR, yaitu harus meningkatkan pengetahuan tentang tatalaksana kasus infeksi, memahami regimen dosis antibiotik, serta pengetahuan farmakokinetik dan farmakodinamik (PK/PD) pada setiap antibiotik yang digunakan.
“Antibiotik mempunyai efek samping dan risiko memicu bakteri menjadi resisten atau kebal. Sehingga bakteri menjadi sulit dimatikan oleh antibiotik yang biasa digunakan. Maka, hati-hati menggunakan antibiotik. Jangan beli antibiotik tanpa resep dan jangan berbagi antibiotik kepada orang lain, meskipun gejala sakitnya sama,” tuturnya. (*)
Penulis: Rangga Prasetya Aji Widodo
*Daftar tautan:
- Jurnal Infection and Drug Resistance berjudul “Antimicrobial Resistance: Implications and Costs”
- Buku “Antimicrobial Resistance: Tackling a Crisis for the Health and Wealth of Nation“ (Jim O’Neill, 2014)
- https://www.woah.org/en/article/engaging-indonesian-media-in-the-fight-against-antimicrobial-resistance/