GENERASI, SURABAYA – Makanan organik digadang-gadang sebagai salah satu solusi untuk mendukung kesehatan. Gaya hidup mengkonsumsi makanan organik pun sudah telah berlangsung saat ini. Mengapa tren mengkonsumsi makanan organik semakin marak belakangan ini?
Menurut Global Organic Trade Guide, makanan dan minuman kemasan organik di Indonesia terus berkembang. Konsumsi makanan organik telah mencatat pertumbuhan nilai sebesar 7,9% pada tahun 2021 yang nilainya mencapai US $16,2 juta. Kopi organik menjadi minuman organik utama di Indonesia yang diperkirakan mengalami pertumbuhan datar selama periode 2021-2025.
Salah satu alasan terus bergeraknya kebutuhan akan makanan organik adalah gaya hidup yang dilakukan generasi Z. Studi dalam Jurnal Industrial Research Workshop and National Seminar berjudul “Analisa Persepsi Perilaku Generasi Z Indonesia terhadap Konsumsi Produk Makanan Organik” tahun 2021, yang dikerjakan Sita Ayunda Julianty, Lusianus Kusdibyo, dan Fatya Alty Amalia dari Politeknik Negeri Bandung menjelaskan bahwa terdapat persepsi positif terhadap konsumsi makanan organik dari 250 konsumen Generasi Z di Indonesia yang mereka temui.
“Secara umum, konsumen menilai jika produk makanan organik lebih baik dibandingkan produk konvensional. Selain lebih aman bagi kesehatan, konsumsi makanan organik dinilai memberikan dampak pengurangan bahan kimia pada berbagai bahan makanan dan memberikan jumlah nutrisi makanan yang lebih baik,” tulis penelitian itu.
Konsumen generasi Z juga memiliki kemampuan untuk mengkonsumsi makanan organik, karena faktor-faktor seperti harga, ketersediaan, dan gaya hidup mereka yang semakin mendukung. Namun, meskipun konsumen Generasi Z memiliki sikap dan kontrol perilaku yang positif, mereka masih bisa terpengaruh oleh lingkungan sekitar.
Hasil penelitian itu memiliki konsekuensi yang signifikan bagi penjual makanan organik di Indonesia. Penjual harus membuat strategi komunikasi pemasaran yang efektif untuk mendorong konsumen Generasi Z dalam melihat makanan organik dengan cara yang baik.
“Dapat membuat konten yang memuat informasi mengenai produk makanan organik dari segi manfaat dan kualitas dengan gaya komunikasi yang efektif dalam mengatasi berbagai masalah konsumen, kemudian melakukan kampanye sosial dengan melibatkan influencer atau Key Opinion Leader (KOL, Red) yang sesuai tujuan meningkatkan keyakinan konsumen dalam melakukan perubahan konsumsi makanan organik dengan gaya hidup organik,” sebut penelitian itu di halaman 964.
Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan jika konsumen Generasi Z terhadap konsumsi produk makanan organik di Indonesia memiliki persepsi yang positif terhadap produk makanan organik baik segar, setengah olahan, dan olahan.
Erina Tasya (24), mahasiswa dari Universitas Brawijaya (UB) memilih mengkonsumsi makanan organik karena lebih sehat. Menurutnya, tidak ada perbedaan rasa antara makanan organik dengan makanan konvensional. Tapi, dari segi kualitas dan manfaatnya, makanan organik akan lebih aman dikonsumsi dalam jangka panjang.
Selain itu, Erina berpendapat bahwa pengolahan makanan organik lebih praktis. Makanan organik tidak perlu dibersihkan dengan cara yang khusus seperti produk makanan konvensional. Hal itu, mendorongnya mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli produk makanan organik.
Jika terdapat penelitian yang mengatakan bahwa Generasi Z masih bisa terpengaruh oleh lingkungan sosial, menurut Erina, hal tersebut tidak selalu berpengaruh. Mengkonsumsi produk makanan organik akan muncul atas kesadaran diri, karena setiap orang pasti akan menyadari pentingnya kesehatan. Pemasaran makanan organik yang aktif membantu Generasi Z tertarik untuk ikut mengkonsumsi.
“Pemasaran menggunakan video pendek yang dikemas secara menarik dan edukatif dengan memanfaatkan platform media sosial akan lebih efektif dan lebih mudah diterima Generasi Z,” ujarnya, Senin (22/4/2024).
Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga, Sri Adiningsih mengatakan bahwa makanan organik tradisional juga harus tetap dikenalkan dan dilestarikan oleh Generasi Z di Indonesia. Meskipun proses pembuatannya rumit, namun sudah banyak teknologi yang bisa membantu dalam proses pembuatan makanan organik tradisional tersebut.
“Contohnya kupatan, masih terdapat Generasi Z yang tidak suka. Padahal itu budaya (Indonesia, Red). Buatnya rumit, mulai dari kupat, lepet, dan belum lauknya. Sementara saya merasa ada bantuan teknologi, proses masaknya jadi lebih hemat waktu dan energi,” ungkapnya, Sabtu (20/4/2024).
Selain itu, Sri berharap agar temuan teknologi yang dapat membantu dalam pembuatan produk makanan organik bisa terus diupayakan. Sehingga, tidak ada lagi alasan kurangnya alat penunjang dalam proses pembuatan makanan organik, dan masyarakat sekaligus Generasi Z bisa lebih meningkatkan untuk mengkonsumsi makanan organik tersebut.
“Pegang budaya makan dengan tetap produksi pangan yang aman, proses makan mudah, dan hasil produk atau sajian makanan yang tetap sehat dan bergizi,” pungkasnya. (*)
Penulis: Rangga Prasetya Aji Widodo