GENERASI, Surabaya – Salah satu permasalahan gizi yang sering terjadi pada remaja adalah kekurangan berat badan atau underweight. Kekurangan berat badan pada remaja dapat berdampak buruk terhadap kondisi kesehatan fisik, mental, intelektual, hingga kehidupan sosial mereka. Underweight bisa terjadi ketika jumlah konsumsi energi dan zat-zat gizi tidak tercukupi sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.
Data dari World Health Organization (2016) mencatat prevalensi secara global remaja usia 14-19 tahun yang mengalami kekurangan berat badan sebesar 9%. Sedangkan menurut Kemenkes (2020), Indonesia memiliki prevalensi kekurangan berat badang pada remaja usia 13-15 tahun sebesar 8,7% dan pada remaja usia 16-18 tahun sebesar 8,1%. Hal tersebut menunjukkan kekurangan berat badan menjadi masalah gizi yang perlu dikaji penyebabnya lebih lanjut.
Padahal, masa remaja merupakan periode transisi dari masa anak-anak menuju dewasa yang ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Oleh karena itu, asupan gizi yang baik dan seimbang menjadi sangat penting untuk mendukung proses tumbuh kembang remaja secara optimal.
Studi dalam Jurnal Gizi dan Kesehatan berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Underweight pada Remaja SMA di Bekasi” yang ditulis oleh Dewie Anatasya Karno, Anna Fitriani, dan Iswahyudi dari Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (2024), mengemukakan bahwa proporsi kekurangan berat badan pada 103 remaja di Bekasi justru lebih tinggi pada remaja dengan asupan energi, protein, lemak, dan karbohidrat yang cukup.
Penelitian itu menulis, hal tersebut bisa terjadi disebabkan oleh faktor lain selain asupan, seperti usia reproduksi, tingkat aktivitas fisik, dan riwayat asupan masa lalu yang tidak terukur. Selain itu, hasil penelitian menjelaskan bahwa proporsi kekurangan berat badan justru lebih tinggi pada remaja yang memiliki pengetahuan gizi cukup dan citra tubuh positif. Kondii itu berbeda dengan teori yang menyatakan bahwa pengetahuan gizi yang baik dan citra tubuh positif akan mendukung status gizi yang baik pula.
Menurut peneliti, pengetahuan gizi yang baik tidak selalu diikuti dengan perilaku makan yang sehat. Remaja juga perlu memiliki sikap yang positif agar pengetahuan dapat diterapkan dalam praktik. Sementara itu, citra tubuh positif tidak selalu dibarengi dengan perilaku makan yang sehat. Remaja dengan citra tubuh positif bisa jadi justru melakukan upaya-upaya yang tidak sehat untuk mempertahankan penampilan tubuh idealnya, misalnya dengan diet ketat.
“Terdapat individu yang menginginkan tubuh kurus atau langsing dibandingkan tubuh aslinya maupun sebaliknya,” tulis peneliti di halaman 118.
Bhakti Hariyanto (63), orang tua yang memiliki anak usia remaja tingkat SMA di Kabupaten Malang, memahami masalah kekurangan berat badan yang menurutnya akan membawa dampak buruk bagi remaja. Dampak buruk itu seperti badan tidak sehat, mudah sakit, tidak bersemangat, hingga memicu pembulian karena dianggap berbeda dengan teman sebayanya.
Bhakti juga berpendapat jika tantangan orang tua sekarang dalam memastikan remaja memiliki pengetahuan gizi yang baik dan citra tubuh yang sehat seringkali datang dari jajanan tidak sehat yang diminati remaja. Meskipun begitu, upaya untuk tetap mengawasi dan mengingatkan anak untuk makan makanan bergizi di rumah akan terus dilakukan.
“Ya meskipun saya biarkan buat jajan yang tidak bergizi seperti seblak, atau jajanan yang pedes-pedes itu, tetap selalu saya pantau dan saya tegur biar tidak sering-sering,” ujarnya pada Sabtu (6/7/2024).
Dosen Ilmu Gizi, Universitas Airlangga, Dominikus Raditya Atmaka menjelaskan bahwa masalah kekurangan berat badan pada perempuan biasanya akan berdampak pada keterlambatan pubertas. Hal ini terjadi karena tidak adanya cadangan energi dan nutrisi makro yang memadai untuk pembentukan dan perubahan hormonal sehingga seringkali terjadinya menstruasi pertama akan lebih lambat dibandingkan dengan remaja perempuan normal.